Bondan Winarno - detikFood

Foto: Bondan Winarno Jakarta - Melaka, sebuah kota pelabuhan di Pantai Barat Malaysia, dianggap sebagai salah satu pusat kebudayaan Peranakan di Asia. Kita tidak perlu iri. Salah sendiri kenapa kita tidak membuat Pekalongan, atau Cirebon, atau Pangkalpinang menjadi pusat kultur Peranakan yang menjadi acuan bagi semua studi folklorik para perantau dari daratan Tiongkok ini.
Di Melaka, kota yang sejak 2008 sudah dinyatakan oleh Unesco sebagai Situs Pusaka Dunia (World Heritage Site), kita dapat melihat peninggalan budaya dari migran Hoakiauw yang masuk ke Asia untuk menjadi peniaga dan buruh tambang. Sebagian dari mereka berhasil menembus kejayaan menjadi orang-orang kaya di semenanjung ini.
Karena di masa itu kaum perempuan tidak disertakan dalam pelayaran yang berat dan berbahaya, para pendatang itupun menikah dengan perempuan lokal. Akulturasi pun terjadi. Gaya berpakaian kaum perempuan - dengan kain panjang dan baju kebaya atau baju kurung - menjadi fashionable di kalangan Babah-Nyonya (sebutan untuk keturunan para perantau yang menikah dengan perempuan lokal).
Urusan dapur pun mengalami intervensi budaya. Kecap, tauco, blacan, cincalok - yang tampak jelas merupakan pengaruh kuliner Tionghoa - mulai masuk ke dalam tradisi kuliner Melayu. Gaya masakan fusion Melayu-Tionghoa inilah yang kemudian tampil menonjol sebagai kuliner Peranakan. Di Indonesia pun kita melihat berbagai ciri masakan Peranakan yang populer, seperti: lontong capgomeh, tahu telur, bahkan gado-gado.
Melaka pun cukup cerdik untuk memasukkan kuliner sebagai ujung tombak pariwisata. Selain chicken rice-ball yang di-claim sebagai khas Melaka, mereka pun melakukan kapitalisasi terhadap budaya kuliner Peranakan. Melaka bahkan tidak canggung menyebut diri sebagai the craddle of Peranakan cuisine in Asia.
Ada beberapa restoran terkenal di Melaka yang menyajikan masakan Peranakan. Beberapa di antaranya bahkan tercatat di Lonely Planet, seperti: Nancy, Ole Sayang, Kapitan House, dan lain-lain.
Favorit saya untuk makanan Peranakan otentik di Melaka adalah Restoran Peranakan. Pertama, karena tempatnya lebih besar dan merupakan rumah tua yang dirawat baik. Kedua, karena citarasa masakannya pun prima.
Menu favorit saya di Restoran Peranakan adalah: ayam keluak, ayam pongteh, udang lemak nenas, tahu peranakan, sambal bendih. Ayam keluak adalah opor dengan bumbu pekat, dimasak dengan keluak (kluwek). Ayam pongteh mirip semur kental dengan aroma ngohiong, isinya kentang dan jamur hioko. Udang lemak nenas mirip lempah bersantan, dimasak dengan nenas. Tahu peranakan adalah nama lain untuk tahu telur gaya Peranakan Jawa. Dan sambal bendih adalah okra (lady's fingers) kukus dengan sambal blacan.
Untuk makan kenyang sekeluarga, siapkan anggaran sekitar RM 20 (sekitar Rp 55 ribu) per kepala. Cukup murah, bukan? Itupun sudah termasuk ais cendul atau ais gula melaka sebagai pencuci mulut.
Restoran Peranakan
107, Jl. Tun Tan Cheng Lok (Heeren Street)
Melaka, Malaysia
+606 2845001
(dev/Odi)
Tutup
You are redirected to Facebook
Sending your message
You are redirected to Lintas Berita
Sending your message
Post this to your WordPress blog:
Sending your message
Post this to your Blogger blog:
Sending your message
Sending your message
Share to your Yahoo Mail contacts
Sending your message
Sending your message
Import Your Yahoo Messenger contacts
Share to your Yahoo Messenger contacts
Sending your message
Import Your Google Talk contacts
Share to your Google Talk contacts
Sending your message
Import Your Live Messenger contacts
Share to your Live Messenger contacts
Sending your message
Redaksi: detikfood[at]detik.com
Informasi pemasangan iklan
hubungi email : iklan@detikfood.com ,
telepon 021-7941177 (ext.547 dan 609)
No comments:
Post a Comment